Motof Batik Semarang

Jawa Tengah adalah pusatnya batik. Itu adalah kesan yang ditangkap pertama kali oleh kebanyakan orang. Hal itu bukan omong kosong belaka. Mulai dari Tegal, Pekalongan sampai Lasem di pantura (pantai utara Jawa) serta Solo, Yogyakarta hingga Kebumen di sebelah selatan merupakan daerah penghasil batik, dan semuanya mempunyai ciri khas masing-masing.

Robyn Maxwell, seorang peneliti tekstil di Asia Tenggara, menjumpai sebuah sarung di Tropenmuseum Amsterdam yang di buat di Semarang. Dalam bukunya Textiles of Southeast Asia: Tradition, Trade and Transformation (2003:386), Maxwell menyebut sebuah kain produksi Semarang berukuran 106,5×110 cm yang terbuat dari bahan katun dengan dekorasi dari warna alam memiliki motif yang sangat berbeda dengan motif Surakarta atau Yogyakarta.
Pepin Van Roojen, menemukan beberapa jenis batik dari Semarang seperti yang ditulis dalam bukunya berjudul Batik Design (2001:84). Ada kain sarung yang dibuat pada akhir abad ke-19 di Semarang. Sarung itu memiliki papan dan tumpal dengan ornament berupa bhuta atau sejenis daun pinus runcing asal Kashmir. Motif badannya berupa ceplok. Ini menunjukkan meskipun secara spesifik batik Jawa Tengah yang diwakili Surakarta dan Yogyakarta berbeda dengan batik pesisir, Semarang termasuk di dalamnya, namun pola-pola baku tetap pula dipakai seperti ditunjukkan pada pola ceplok itu.
Peneliti batik lain, menegaskan batik semarang dalam beberapa hal memperlihatkan gaya laseman karakter utama laseman berupa warna merah (bangbangan) dengan latar belakang gading (kuning keputih-putihan). Lee Chor Lin (2007:65) mengatakan laseman dengan cirri bangbangan mempengaruhi kreasi batik di beberapa tempat di pesisir utara lainnya seperti Tuban, Surabaya dan Semarang.
Maria Wonska-Friend yang mengkaji koleksi batik milik Rudolf G Smend (Smend et al, 2006:53) menyebutkan ciri pola batik Semarang berupa floral, yang dalam banyak hal serupa dengan pola Laseman. Tidak heran pada koleksi tersebut banyak sekali kain batik dari abad ke-20 yang disebut batik Lasem atau Semarang. Maksudnya, batik-batik tersebut tidak secara spesifik disebut sebagai kreasi satu kota misalnya batik Lasem saja atau batik Semarang saja.
Berdasarkan pengaruhnya, batik pesisir dipengaruhi oleh unsur budaya Cina, Eropa dan India, seperti motif burung punik. Sedangkan batik pedalaman banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Keraton. Dilihat dari segi warnanya, batik pesisir khususnya Semarang menurut Dr. Dewi Yuli Wati, karena ada pengaruh-pengaruh Cina, Eropa dan India jadi menggunakan warna-warna lebh mencolok seperti orange, merah, biru. Sedangkan batik pedalaman lebih mempertahankan warna sogan seperti coklat agak kekuningan, krem, kuning kecoklatan dan mempertahankan warna alam sehingga menggunakan bahan-bahan alami lebih natural.
Motif-motif batik Semarangan antara lain :
1. Franquemont dan Oosterom

Batik Franquemont memiliki warna beragam dengan warna hijau sebagai kekhasan dan memiliki pola-pola bermotif Eropa, Cina dan pesisir utara khususnya Madura dan pola dari keraton. Franquemont juga mengambil figure-figur dan atribut dari berbagai dongeng Eropa yang ditampilkan berulang pada badan kain batik.
Batik Oosterom cirinya memiliki pola yang rumit salah satu kreasinya dengan motif pola sirkus yang menggambarkan penunggang kuda, orang berdansa, bangunan mirip kastil, pohon palma, dilengkapi dedaunan dan burung mirip phoenix.


2. Tan Kong Tien
Motif-motif batik dari “Batikkerij Tan Kong Tien” merupakan hasil akulturasi motif pesisiran yang berkarakter terbuka dan motif keraton. Contoh motif dasar parang yang merupakan motif batik keraton, seringkali dipadu dengan motif burung merak.

3. Neni Asmarayani
Neni membuka galeri batik pada tahun 1970-an di Semarang dan melibatkan beberapa pelukis dan seniman ternama dalam penciptaan desain. Ada dua motif nuansa Semarang yang diciptakan yaitu Warak Ngendog dan Pandan Arang. Namun usaha pembatikan ini kemudian tidak berlanjut.

4. Batik Sri Retno
Keunikan batik Sri Retno adalah inovasi yang dilakukan dalam hal motif karena bertempat produksi di Semarang, jejak-jejak kekhasan kota tersebut juga menjadi sumber explorasi penciptaan motif batiknya. Namun sangat disayangkan perusahaan yang sebenarnya telah punya pasar dan popular sebagai pencipta batik dengan motif khas itu beroperasi tidak sampai satu decade.

5. Batik Semarang 16
Setelah sekian lama vakum pada tahun 2005, Umi. S. Adi Susilo aktif menghidupkan kembali aktivitas perbatikan. Selain banyak mengadakan pelatihan batik juga membentuk perusahaan kerajinan Batik Semarang 16. Ratusan motif telah dihasilkan Batik Semarang 16 terutama motif-motif baru yang berhubungan dengan landmark kota Semarang seperti Tugu Muda, Lawang Sewu, Pohon Asem, Blekok Srondol dan banyak lagi. 11 motifnya telah dipantenkan di HAKI.

6. Kampung Batik
Merupakan sentra batik di Semarang yang pernah mengalami kejayaan pada zaman Belanda. Tak hanya Kampung Batik yang merupakan tempat perajin batik, tetapi juga Bugangan, Rejosari, Kulitan, Kampung Melayu, dan Kampung Darat, yang notabene adalah kampung-kampung yang terletak di sekitar pusat Kota Semarang tempo dulu. Berdasarkan penelitian Dr Dewi Yuliati MA dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Undip Umumnya orang Semarang tempo dulu membatik dengan motif naturalis (ikan, kupu-kupu, bunga, pohon, bukit, dan rumah), tidak simbolis seperti batik-batik di Surakarta dan Yogyakarta. Motif naturalis menjadi ciri khas batik yang diproduksi oleh masyarakat pesisir utara Jawa. Ciri itu dapat dimaknai sebagai karakter masyarakat pesisir, yang lebih terbuka dan ekspresionis jika dibandingkan dengan masyarakat di Surakarta dan Yogyakarta, yang lebih dilingkupi oleh sistem simbol, norma-norma, dan aturan-aturan di bawah kekuasaan raja.

7. Desa Gemawang
Berdasarkan literatur, sejak jaman Hindia Belanda di wilayah ini memang telah ada industri batik. Setelah Gunung Ungaran meletus hebat sekitar tahun 1800-an, kerajinan batik lalu menyebar ke berbagai wilayah. Batik Gemawang mulai bangkit pada tahun 2005, setelah diadakan pelatihan membatik. Batik ini mempunyai ciri khas unsur batik kopi, tala madu dan baruklinting. Sedangkan pewarnaan utama menggunakan indigo (indigofera).

8. LOKA Batik by Hanna Lestari
LOKA Batik adalah sebuah label dan gallery untuk kreasi produk fashion dan cultural creative product dengan motif batik semarang khususnya dan Jawa Tengah umumnya. LOKA Batik menjalin kerjasama dengan para pengrajin untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bercita rasa seni tinggi. Dengan menggunakan e-commerce sebagai salah satu media pemasarannya diharapkan Batik Semarang khususnya dan batik di Jawa Tengah umumnya dapat dikenal lebih luas baik dalam negeri maupun mancanegara.
Sumber berita :
1. http://batiksemarangindah.blogspot.com/2009/04/sejarah-batik-semarang.html
2. http://lpmhayamwuruk.com/?p=11
3. http://classicalbatik.blogspot.com/2009/03/pesisir-batik-semarang-kudus-demak.html
4. http://lokabatiksemarang.wordpress.com/history-of-batik-semarang/
5. http://www.indonesiaberprestasi.web.id/2010/10/selamat-hari-batik-mengenal-batik-nusantara-1/

Read full history - Motof Batik Semarang

Sejarah Batik Semarang

Dalam berita Belanda (Kolonial Verslag, 1919 & 1925), disebutkan bahwa industri batik di Semarang mencapai 107 buah, dengan jumlah perajin sebanyak 800 orang. Memang, Semarang di sini bisa Kota Semarang dan Kabupaten Semarang karena batas wilayah waktu itu belum seperti sekarang. Sejarawan dari Universitas Diponegoro Semarang Dr Dewi Yuliati mengatakan, batik semarang pernah jaya pada awal abad ke-20 hingga tahun 1980-an. Pada awal abad ke-20 ada perusahaan batik "Batikkerij Tan Kong Tien" yang cukup ternama pada waktu itu, kemudian pada tahun 1980-an ada perusahaan batik "Sri Retno" yang cukup penting bagi industri batik di Kota Semarang. "Setelah itu, batik semarang seolah lenyap karena terdesak batik printing.

Di kota Semarang, terdapat sebuah kampung yang bernama kampung Batik, Konon jaman dulu kampung Batik ini adalah sentral pengrajin Batik yang cukup terkenal. Hasil dari batik di kampung ini sampai menembus pasar ke Eropa. Tetapi kejayaan itu semakin lama semakin redup ketika pada penjajahan Jepang kampung Batik dibakar habis.

Sumber :
  1. http://batiksemarangindah.blogspot.com/2009/04/sejarah-batik-semarang.html
  2. http://lifestyle.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/05/04/29/106238/
  3. http://lpmhayamwuruk.com/?p=11
  4. http://trijayafm-smg.com/2009/10/03/22-motif-batik-semarang-telah-dipatenkan/
  5. http://lokabatiksemarang.wordpress.com/history-of-batik-semarang/
  6. http://id-id.facebook.com/note.php?note_id=118851254837473
  7. http://www.indonesiaberprestasi.web.id/2010/10/selamat-hari-batik-mengenal-batik-nusantara-1/
Read full history - Sejarah Batik Semarang

Serap Aspirasi lewat Tarling

UPAYA Bupati Demak Tafta Zani dalam menyerap aspirasi rakyatnya patut diacungi jempol. Melalui program Tarawih Keliling (Tarling), Bupati Zani bisa berdialog langsung bersama masyarakat setempat di berbagai lapisan.
Seperti di Desa Jatimulyo, Bonang, sebelum sholat Tarawih, Bupati bersama rombongan yang sebelumnya berbuka di rumah Kades Jatimulyo ini,mendengarkan keluhan dan harapan warga. Menurut Kades Jatimulyo Solikhin, Pamsismas di desanya sudah berjalan, dan manfaat air bersihnya juga sudah bisa dirasakan warga desa. Selain itu,betonisasi jalan desa hampir menyeluruh. Untuk tahun ini, betonisasi di Dukuh Guridkulon dari dana ADD, sedangkan betonisasi di Dukuh Kledung dari PNPM.
Normalisasi kali T-39 untuk pengairan sawah sudah terwujud, hanya saja kondisi jembatan utama penghubung jalur Bonang-Demak dengan Desa Sukodono, Krajanbogo, dan Jatimulyo nyaris ambruk.Pondasi jembatan yang dibangun saat AMD (ABRI Masuk Desa) tahun 1980 dulu, sekarang hampir tinggal sejarah. Beberapa pondasinya kropos,truk pun tak berani melewatinya. (sukma)
Read full history - Serap Aspirasi lewat Tarling

Great Train Stations Poncol Imam Bonjol Semarang

Station Poncol 2009

Station Poncol Nows
This station is one of the legacy work of Henry Maclaine Pont, a Dutch architect who many of the world acting on Indonesian architecture. some details of a unique building element is shown by the designers try, for example on a wooden pole in front. The building has architectural integrity that lead to international quality, in accordance with his time and established a type of building perangkutan in the modern era. Integrity continuity of function as a railway station is still well preserved. Building linkages with the history of railways in Semarang and prominent architect Maclaine Pont as a lot of merit in architectural highlight Nusantara bagunan added significance for the station. In accordance with the setting, this building has a large role in forming the region as the point of capture when seen from Jl. Bonjol priests. As one of the buildings that represent the work of Pont a little in the archipelago, Poncol Station building with sustainability is a function of station buildings can still be seen today.

Address: Jl Imam Bonjol 115 Semarang 
Phone Number: 024 354 4496 355 6985, 358 5092 
Fax number: 358 6587


View Category G in a larger map
Read full history - Great Train Stations Poncol Imam Bonjol Semarang

RAIL HISTORY tread STATION IN SEMARANG Tawang


A magnificent building stands apart from other buildings in the northern area of Semarang's Old City. Shape is similar buildings with similar functions, as a destination and transit trains. Elongated main building flanked by buildings on either side. Different from the main building, typical of buildings built during the reign of the Dutch East Indies.
Semarang Tawang station name. High buildings with pillars and solid walls forming the ambience. The top of the dome-shaped roof which indicates that the architectural style. Dominate the curved and rectangular shapes ornament the building. Canopy at the entrance give the impression of this station exclusively.
"The letter from the directors of the NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg) in the Netherlands on the NIS director in Indonesia, expects construction of a functional station. For the station building, should not be ugly, but not necessarily grandiose," said Cahyono, lover of Indonesian railways, Thursday (8 / 12).
On 29 April 1911, NIS began to realize the results of this Blauwboer draft-Sloth. Three years later, the station was ready to operate. Joint Station West Semarang (Poncol) and Central Station (Jurnatan), prepared to welcome the Tawang Station Koloniale tentoon stelling. Tawang station into a visitor door. Not surprisingly, the lobby shows elegance. White color cover almost all the inner walls. Brown color of copper into penghiasnya, whether buildings or other decoration ornaments. Stone sculpture depicts two series of train cab and the four sides adorned the walls. While the center line of the roof space lit by four light dome decorated with a matching color. Elongated glass windows around the top of the building, including under the dome, adding lighting.
According to Chief of Station Tawang, Purwanto, form the main building is currently not changed much, although there are additions and renovations, including floor elevation. Exaltation performed twice in the 1990s. Section, the sea water runoff (rob) that threatens the region north of the city of Semarang started to go into the station area. Almost 1.5 meters tall buildings is reduced because backfill. As a result, some parts had to be adjusted, for example, a high reduction in the door.
Building the station was still well maintained. Function of the building is still preserved as a railway station. Moreover, the volume of passengers per year at this station reaches more than 600,000 people. However, few people are aware that ditapaki stations are historic buildings. 


(Published in Kompas Central Java Edition, December 9, 2005)


Map


View My Saved Places in a larger map
Read full history - RAIL HISTORY tread STATION IN SEMARANG Tawang

History of Semarang

History
Semarang's history dates back to the ninth century, when it was known as Bergota. By the end of fifteenth century, a Javanese Islamic missionary from nearby Sultanate of Demak with the name of Kyai Pandan Arang founded a village and an Islamic boarding school in this place. On May 1, 1547, after consulting Sunan Kalijaga, Sultan Hadiwijaya of Pajang declared Kyai Pandan Arang the first bupati (regent) of Semarang, thus culturally and politically, on this day Semarang was born.
In 1678, Sunan Amangkurat II promised to give control of Semarang to the Dutch East India Company (VOC) as a part of a debt payment. In 1682, the Semarang state was founded by the Dutch colonial power. On October 5, 1705 after years of occupations, Semarang officially became a VOC city when Susuhunan Pakubuwono I made a deal to give extensive trade rights to the VOC in exchange of wiping out Mataram's debt. The VOC, and later, the Dutch East Indies government, established tobacco plantations in the region and built roads and railroads, making Semarang an important colonial trading centre.
NIS company head office, Semarang, Dutch East Indies, 1901.
Even though in the Dutch East Indies Batavia was the political center of government and Surabaya became the center of commerce, the third largest city in Java was Semarang. As off VOC times Semarang had always been an important center of government for North Java, employing many Indo-European officials, until Daendels (1808-1811) simplified burocracy by eliminating this extra layer of officialdom. The city’s expansion declined until in 1830 the Java War ended and export commerce via the north of Java picked up again. Trade from the south and the middle of Java, where many Indo entrepreneurs rented and cultivated plantations, flourished. Soon the government invested in the establishment of a railway infrastructure which also employed many Indo people. The historic presence of a large Indo (Eurasian) community in the area of Semarang is also reflected by the fact a creole mix language called Javindo existed there.[1] Nowadays there is no substantial Indo community left in Semarang, as most fled the city during the Indonesian national revolution in the middle of the 20th century.
In the 1920s, the city became a center of leftist and nationalist activism. With the founding of the Communist Party of Indonesia in the city, Semarang became known as the "Red City". The Japanese military occupied the city along with the rest of Java in 1942, during Pacific War of World War II. During that time, Semarang was headed by a military governor called a Shiko, and two vice governors known as Fuku Shiko. One of the vice governors was appointed from Japan, and the other was chosen from the local population.
After Indonesian independence in 1945, Semarang became the capital of Central Java province.

Administration

The city of Semarang divided into 16 districts (kecamatan) and 177 sub-districts of (kelurahan). The 16 districts are: West Semarang, East Semarang, Central Semarang, North Semarang, South Semarang, Candisari, Gajahmungkur, Gayamsari, Pedurungan, Genuk, Tembalang, Banyumanik, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, and Tugu.
A Bupati (regent) used to be the head of government in Semarang until 1906. After 1906, the city of Semarang was headed by a Mayor (Walikota).
Mayors of Semarang after Indonesian independence:
  1. Moch. lchsan
  2. Koesoebiyono (1949 - 1 July 1951)
  3. RM Hadisoebeno Sosrowardoyo (1 July 1951 - 1 January 1958)
  4. Abdulmadjid Djojoadiningrat (7 January 1958 - 1 January 1960)
  5. RM Soebagyono Tjondrokoesoemo (1 January 1961 - 26 April 1964)
  6. Wuryanto (25 April 1964 - 1 September 1966)
  7. Soeparno (1 September 1966 - 6 March 1967)
  8. R. Warsito Soegiarto (6 March 1967 - 2 January 1973)
  9. Hadijanto (2 January 1973 - 15 January 1980)
  10. Imam Soeparto Tjakrajoeda (15 January 1980 - 19 January 1990)
  11. Soetrisno Suharto (19 January 1990 - 19 January 2000)
  12. Sukawi Sutarip (19 January 2000 – 19 January 2010)
  13. Soemarmo HS (19 January 2010 - present)

copied from wikipedia

 

Read full history - History of Semarang